Sebuah film dokumentar baru Netflix “The Social Dilemma” mengeksplorasi dampak berbahaya dari jejaring sosial bagi manusia, begitu pula para pakar teknologi membunyikan alarm pada kreasi mereka sendiri.
Dengan kesaksian dari mantan karyawan Google, Facebook, Instagram, Twitter, dan lainnya, film dokumenter ini membahas lebih dalam tentang dampak media sosial terhadap kesehatan mental, politik, dan ekonomi. Tetapi apakah The Social Dilemma akurat, atau hanya hiburan?
Menjelang akhir drama dokumenter The Social Dilemma, mantan karyawan Google Tristan Harris menggambarkan teknologi sebagai “utopia dan distopia simultan”. Kutipan ini merangkum fokus film: Ini terutama memainkan narasi distopia usang seputar teknologi, dengan percikan pandangan utopia awal.
Meskipun The Social Dilemma mencoba untuk meningkatkan kesadaran kita akan bahaya sosial media, tetapi akhirnya semua kembali kepada kebijakan kita sendiri, baik atau buruknya media sosial tergantung bagaimana kita menggunakannya.
Sangat nyata di mana masalah seperti penindasan, kecanduan digital, penyebaran berita palsu, dan masalah pengawasan, masa depan media sosial mungkin tidak sesuram seperti yang digambarkan oleh drama dokumenter tersebut.
Film tersebut memusatkan keterangan dari mantan karyawan di perusahaan teknologi besar seperti Facebook, Google, dan Twitter. Banyak yang menunjukkan maksud utopis di balik keterlibatan mereka dalam kebangkitan perusahaan-perusahaan ini. Misalnya, Justin Rosenstein, yang memimpin tim yang membuat tombol “like” Facebook, mengatakan bahwa tim tersebut dimotivasi oleh keinginan untuk “menyebarkan cinta dan kepositifan di dunia.”
Orang-orang dalam industri teknologi telah condong ke tekno-utopianisme selama beberapa dekade, meremehkan bagaimana memaksimalkan keuntungan adalah faktor pendorong utama bagi mereka. Utopia menggambarkan bagaimana masyarakat dengan kualitas-kualitas yang sangat didambakan ataupun nyaris sempurna alias tanpa cela.
Seorang penulis teknologi Maria Farrell mengatakan dalam sebuah tulisannya, “eksekutif teknologi yang berubah menjadi prajurit keadilan data dielukan sebagai pahlawan yang menceritakan kebenaran, tetapi ada sesuatu yang agak terlalu halus tentang busur naratif ini.”
Para eksekutif teknologi seperti terbelenggu oleh kebijakan perusahaan yang terkadang bertentangan dengan hati nurani, otoritas moral tergadaikan. Seperti Roger McNamee, investor awal Facebook, akhirnya bersaksi kepada Kongres AS tentang kebungkaman Facebook yang sangat mementingkan diri sendiri tentang amplifikasi disinformasi Rusia selama pemilihan presiden AS 2016.
Ada juga mantan design Google Tristan Harris, ia mengundurkan diri dan mendirikan Center for Humane Technology untuk mengekspos trik hacking pikiran yang dilakukan mantan majikannya. Mantan karyawan Google lainnya, James Williams, melalui bukunya mendirikan gerakan kesadaran dari kecanduan teknologi yang memang sengaja dirancang dari dalam oleh perusahaan.
Mantan Kepala Hubungan Internasional Google, Ross Lajeunesse, meninggalkan perusahaan pada 2019 karena motto perusahaan “Jangan Jahat” hanya retorika semu. The Social Dilemma adalah contoh dari fenomena ini, bergulat dengan akar masalah perusahaan-perusahaan ini.
Kita semua membutuhkan kesempatan kedua. Bahkan jika kita sendiri tidak membutuhkan awal yang baru, kita ingin hidup di dunia di mana orang-orang memiliki alasan untuk berbuat lebih baik. Kisah-kisah ahli teknologi yang produktif melompat langsung dari masa lalu, ketika itu adalah bagian dari sesuatu yang mengejutkan.
Mereka terpaksa menjadi buruk atas tuntutan pekerjaan. Mereka sekarang menjadi otoritas moral tentang bagaimana bekerja dan berbuat baik. Satu-satunya hal yang lebih sepadan daripada uang yang berlimpah adalah hak istimewa. Itulah mengapa mereka pakar teknologi banyak keluar dari perusahaan besar bergaji tinggi dan memilih berjalan sendiri menggunakan hati nurani.
Di dunia di mana ketimpangan ekonomi terus melebar dan banyak orang sangat skeptis terhadap mereka yang berkuasa, film ini menekankan bagaimana masalah seperti polarisasi politik dan penyebaran informasi yang salah secara langsung disebabkan oleh desain platform online.
Banyak orang yang ditampilkan dalam film ini mengungkapkan keterkejutan dan mengatakan bahwa mereka tidak pernah membayangkan bagaimana platform online akan dipersenjatai. Mereka mungkin tidak terlalu terkejut dengan ujaran kebencian online karena sudah lumrah terjadi, atau setidaknya lebih siap untuk merespons dengan cepat.
Alih-alih diskusi yang bermakna tentang subjek ini, The Social Dilemma menceritakan kembali narasi distopia tentang teknologi yang mengingatkan kembali pada kepanikan moral yang menyertai pengenalan berbagai teknologi, termasuk buku, radio, dan bahkan sepeda. Media sosial dianggap merusak Gen Z dan menyebabkan epidemi kesehatan mental.
Meskipun ada kekhawatiran yang valid tentang masalah seperti penggunaan berlebihan dan ekspektasi citra tubuh yang tidak realistis, penelitian bertahun-tahun tentang bagaimana penggunaan media sosial kaum muda memengaruhi kesehatan mental dan kesejahteraan mereka menceritakan kisah yang jauh lebih bernuansa.
Namun, teknologi bukan penyebab tunggal dari masalah kesehatan mental. Beberapa peneliti yang fokus pada kesejahteraan digital memperingatkan agar tidak menggunakan vonis seperti itu karena patologi penggunaan teknologi. Teknologi memang bisa merusak mental, tetapi itu memerlukan intervensi klinis.
“Sebagai manusia, kita hampir kehilangan kendali atas sistem ini. Karena mereka mengendalikan informasi yang kita lihat, mereka mengendalikan kita lebih dari kita mengendalikannya,” kata Sandy Parakilas, mantan manajer operasi di Facebook, mengatakan dalam The Social Dilemma.
Film dokumenter tersebut mencitrakan media sosial begitu buruk dan tidak bermoral. Hanya karena begitu banyaknya keburukan di media sosial bukan berarti kita harus menghancurkannya. Bukankah media sosial masih ada sisi baiknya? Segala keburukan ditinggalkan dan dekati sisi baiknya!
Singkatnya, film The Social Dilemma memberitahu kita tentang dilema sosial dari teknologi online yang dapat merusak kesehatan mental penggunanya. Pembingkaian penggunaan teknologi sebagai kecanduan merupakan fenomena nyata yang harus dicegah sedini mungkin.
Meninggalkan semua platform media sosial sebagai pencegah bukan solusi efektif, setidaknya media sosial masih memiliki sisi positif yang cukup berguna. Saat ini kita sudah masuk di era digital di mana teknologi online sudah menjadi kebutuhan pokok.
Dalam hal ini, solusi terbaik adalah dengan literasi digital. Sebagian besar masalah di internet adalah masalah sosial, melek digital menjadi solusi sosial. Risiko dapat diminimalkan dengan cara memfilter, mengontrol, mengedukasi, mengajarkan internet positif, dan sebagainya.
Literasi digital mengacu pada kemampuan individu untuk menemukan, mengevaluasi, dan menyusun informasi yang jelas melalui tulisan dan media lain di berbagai platform digital. Kurangnya literasi digital akan membuat Anda kehilangan akal sehat dan akhirnya dikendalikan oleh teknologi. Kita yang seharusnya mengendalikan teknologi, tentunya dengan mengasah kemampuan literasi digital.
Sekoci Hoaxes. Filter Ekosistem Informasi!
0 Comments